Sepasang kakek dan nenek terlihat bercengkrama di teras rumah sambil sesekali matanya yang tlah mulai senja melongok ke pagar depan rumah, dengan penuh harapan dan juga kecemasan.
" mereka belum juga ada yang datang " si kakek mulai gelisah.
" ah, mungkin masih di jalan kek." si nenek menghibur diri. tapi raut mukanya menangkap kegelisahan yang sama, bahkan kecemasan itu berbaur dengan rasa rindu yang mulai merayapinya.
" Apakah ada yang salah dari cara kita mendidik mereka ya, bu hingga mereka bisa lupa kalau mereka masih punya kedua orang tua. " tutur kakek pelan di rundung kesedihan. Terbayang wajah-wajah lucu cucu-cucunya berlarian bergelayut manja di pelukannya. Sama seperti ayahnya semasa kecil dulu, ketika si kakek masih muda dan anak-anak masih kecil.
Si nenek tak berkata apa-apa hanya air mata mulai berlinang riang, bukan kesedihan tapi kerinduan. Apa ada bedanya kesedihan dan kerinduan ini. Wajah-wajah tua menantikan buah hati yang berada jauh di kota-kota yang berbeda.
Seharusnya malam takbiran ini mereka sudah berkumpul di rumah ini. Rumah yang dulu membesarkannya dengan cinta dan kasih sayangku. Setiap sudut rumah ini meskinya menjadi memory yang tak pernah lekang oleh waktu dan ingatan anak-anakku. Seolah bicara sendiri kakek tua itu sambil terus memperhatikan ujung halaman rumahnya yang rindang oleh pepohonan, tanpa lepas harapan tentang tawa riang cucu cucunya yang berhamburan berlomba memeluknya lebih dulu.
Rumah ini semakin sepi. Terakhir semenjak Kayla si bungsu yang di peristri oleh seorang polisi dan di boyong pindah ke Sukabumi. Ardian Si sulung harus rela tinggal di kota Yogya karena tugasnya sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi. Sementara Raka anak no dua kami yang semenjak kuliah super sibuk dengan berbagai kegiatan memang tinggal di jakarta, meskinya dia yang paling sering mengunjungi kami, orang tuanya, tapi kesibukannya sebagai seorang jurnalis juga membuatnya jarang berkunjung.
Sebagai orangtua yang telah bersusah payah mendidik anak-anak ada kebanggaan dan kebahagiaan yang tak terhingga. Mereka tumbuh dan menemukan jalan hidupnya masing-masing. Kami orangtua tak bisa memberikan apa-apa, hanya pendidikan yang selalu menjadi prioritas kami karena itulah bekal untuk mereka menjalani kehidupan kelak.
Hingga sore hari..
Kedua orang tua itu masuk, adzan maghrib memanggilnya untuk menghadap sang khalik. .
Suara takbir mulai bersahutan dari setiap mesjid dan mushola.
Menjelang Isya terdengar suara salam dan berisik dari luar. Agak tergopoh-gopoh kakek dan nenek berhamburan keluar. dan benar saja buah hati mereka tlah berdiri di ambang pintu di iringi malaikat-malaikat kecil yang lucu.
Assalammualaikum, ayah, Ibu.
" Walaikumm sallam. anak-anaku " Dipeluknya satu persatu orang-orang terkasih itu. Kedua matanya basah oleh tangis yang tak terbendung. Kali ini tangisan bahagia atas kerinduan yang terobati. Dalam hatinya ia menyesali pikiran kotornya sore tadi yang tlah berpikir tentang anak-anaknya yang telah melupakannya.
" Maafkan kami agak telat ayah, " Ardian membuka percakapan setelah suasana haru biru itu mulai normal. Kali ini kedua orang tua itu diliputi rasa kebahagiaan yang tak terhingga.
" Saya yang salah yah," sela Raka. " Saya yang meminta tolong de Kayla sama Mas Ardian untuk menjemput saya, anak-anak sama mamahnya"
" Astagfirullah, kenapa tak ada yang beritahu ayah..?"
" Saya yang melarang" ungkap Raka. " Saya takut ayah dan Ibu terlalu khawatir."
Ah, anak-anak kini memang telah benar-benar menjadi pribadi yang dewasa. Kedatangan mereka yang bersama-sama bukan hanya membahagiakan tapi juga menentramkan hati kedua orang tua itu. Anak-anaknya terlihat rukun dan terus menjalin komunikasi satu dengan yang lain meski jarak saling berjauhan, silaturahmi tetap terjaga. Kedatangan mereka seolah ingin menunjukan bahwa mereka di besarkan dengan cinta dan kasih sayang dari orang tua yang sederhana. Lebaran tentu saja moment yang paling membahagiakan karena dapat berkumpul, bercanda, bercengkrama di sela-sela usia senjanya.
Suara takbir masih dan akan terus terdengar hingga pagi esok saat sembahyang iedul fitri. Ardian dan Raka bernostalgia sebentar di mesjid dengan kawan-kawannya.
Lebaran kali iini suasana begitu haru dan ramai di rumah kakek dan Nenek itu. Kesepian dan kerinduan terobati dengan kehadiran anak-anak dan cucu-cucnya.
________________________________________________________
Lebaran kami pulang, ayah Ibu
kami sadar Ayah dan Ibu menantikan kami
seperti kami ketika kecil dulu
menantikan ayah pulang dari pasar
dan membawakan baju baju baru menjelang lebaran
bedanya adalah, ayah dan ibu menantikan kami dengan kerinduan
sedang kami waktu itu ingin segera melihat baju yang di belikan ayah
untuk lebaran.
Ayah dan ibu telah mendidik kami dengan penuh cinta
tapi kami belum bisa membalas dengan cinta yang sama
( Untuk orang-orang tercinta )
0 Response to "[Cerpen] Lebaran, kami pulang."
Post a Comment
Terima Kasih sudah mampir