Metafora Batang Akasia

Akhirnya hikayat ini berkesudahan. Di saat Aku malu memijakkan diri di tanah negeri berdosa ini. Tak tahan aku menahan isak tangis getah rantingku yang mulai menunduk. Tiba-tiba angin dan petir membantuku untuk menyudahi derita ini. Dengan cara mereka, aku telah terbaring kaku di pundak surau yang kini berderai di tengah malam mencengkam, musnah.
***
Ujung waktu lalu telah mengikis semua nostalgia. Itulah yang kupadukan dalam tradisi orang-orang dahulu dengan derasnya kekinian. Berharap dikurniakan srikandi, namun nasib tak menyebelahi. Akhirnya aku mengusik kembali percikan air mataku yang membeku, pilu.
Kata orang, aku sungguh makhluk tak berdaya. Umpama benalu tua yang tak berharga hingga membawa derita si empunya. Berkali-kali kuceritakan epilog masa senjaku kepada semua makhluk yang sempat bertemu ramah di tahun-tahun yang lalu. Mereka bisa menelan semua yang telah kututurkan panjang lebar di hadapan tamu-tamu agung itu. Kata mereka, nostalgia silamku sangatlah berkesan dalam ingatannya. Mereka bawa cerita itu untuk mereka dendangkan kepada anak cucu mereka.



Masa itu aku masih belia, tegak berdiri menghadap angkasa, darah muda masih mengalir harmoni di setiap celah pikiranku, itulah aku. Mungkin ada suatu saat, manusia tua enggan menyapa ketika mereka melintas di sisiku.Namun, manusia muda, anak-anak, mereka sangat akrab denganku. Mereka tertawa disampingku tanpa menghiraukan keluh kesah batang tubuhku. Mereka selalu membelai-belaiku ketika mereka asyik terbawa arus bermain bersama teman. Aku turut me-rasakan tempias dari keceriaan mereka. Walau tak jauh dariku ada sebuah kuburan tua yang telah ditata rapi oleh penduduk setempat, keramat. Namun surau kecil di hadapankulah yang terus meneduhkan di saat hatiku galau merenung nasib di pangkuan alam.
Tiap senja surau itu mulai ramai dengan jejak langkah anak-anak yang hendak mengaji bersama seorang ustad yang umurnya sudah lumayan tua. Aku sangat hafal wajah anak-anak yang selalu mengaji di surau tua itu. Tak tertinggal juga orang-orang tua yang tertatih-tatih mengejar pintu surau. Jerih payah mereka bermain syahdu bersama semilir angin surga yang menghembus helaian daun-daunku. Suasana masa itu sangat menimbulkan nuansa estetika yang luar biasa. Apa lagi dengan tekad kalangan muda yang tiap malamnya mereka mengaji dan mengkaji ilmu-ilmu agama, seakan mengalirkan kejernihan lautan ilmu yang telah lama ternoda.
Berbeda dengan siang, surau itu sepi tak bernyawa. Tak ada lagi jejak langkah yang tertatih-tatih seperti di malam hari. Tak terdengar juga suara parau anak-anak kecil yang sibuk dengan bacaan Qur’annya. Biasanya gemerisik air wudhu yang mengalir dari wajah-wajah cerah para pemuda kian terdengar. Namun, saat matahari muncul di permukaan tak lagi terdengar alunan suara itu. Jadi setiap siang aku hanya mendengar carut-marut kecil yang sayup di bawa hembusan angin. Entah dari mana asalnya aku pun tak sempat mencari tahu.
Malam. Sesuatu yang sangat kunanti-nantikan kehadirannya. Aroma nafas alam dari seluruh pori-pori batangku mengubah suasana sekitar surau sedikit berubah. Serentak dengan hembusan nafas wanita-wanita tua yang sibuk berzikir dengan genggaman biji-biji tasbih yang sudah mulai usang. Anak-anak belajar mengaji masih menggunakan Al-Qur’an yang sudah menguning kertasnya. Tapi semangat mereka tidak pudar. Waktu malam mereka diluangkan untuk menuntut ilmu di surau tak bernama ini.
Mengingat malam adalah mengingat desah nafas manusia yang sibuk dengan bacaan Al-Qur’annya. Jiwaku terduduk memaku menatap gerak-gerik manusia yang melaksanakan sholat setiap malam tiba. Aku pun senantiasa bertasbih memuji kebesaran Allah. Aku sempat mendo’akan mereka semua agar do’a-do’a yang telah mereka munajatkan bisa dikabulkan oleh Allah. Jiwaku telah ternodai aroma surga.
***
Aku heran. Setelah beberapa tahun beranjak dari setiap waktu, surau kami mulai tak berpenghuni. Hanya tinggal beberapa tungkah manusia saja yang terkadang sempat memijakkan kaki di surau ini. tubuhku sudah mulai usang dan condong ke arah mushala tua itu. Aku dapat melihat suasana sepi dari celah-celah jendela yang sudah lama tidak dibuka.
Setelah sepuluh tahun berganti, semuanya berubah. Tak ada lagi jejak langkah orang tua, jeritan anak-anak membaca Al-Qur’an, gemerisik air wudhu yang berirama dari arah surau. Tak terduga sudah banyak orang-orang tak dikenal telah mendirikan bangunan-bangunan besar di sekitar rumah ibadah ini. Suara adzan telah berganti dengan bisingnya suara-suara mesin yang iramanya tak tentu nadanya. Akar-akarku sudah mulai rapuh dimakan usia. Mungkin dalam hitungan detik saja ragaku ini akansegera musnah dijilat bau-bau limbah pabrik setempat..
Tak seperti malam yang dulu, anak-anak kini sibuk dengan barang-barang elektronik yang ada di rumahnya. Mereka tak menempuh lagi surau tua kami ini. Al-Qur’an pun tak ada lagi disentuh oleh mereka. Semua terbuai dengan lezatnya dunia modern. Mereka telah dihadapkan televisi, game, internet, bahkan semua yang bernuansa agama telah mereka ghaibkan dari kehidupannya. Tak ada lagi yang mau mengkaji ilmu-ilmu agama, tapi mereka lebih mengutamakan belajar ilmu dunia yang tak tentu dalilnya. Atau mungkin seperti ini yang dikatakan pendidikan Islam modern. Kurasa tidak. Entahlah.
“Besok surau tua ini kita singkirkan aja, bos. Biar kita dirikan gudang besar yang akan menyimpan semua hasil dagang kita. Gimana, bos?” ucap seorang pemuda berkaca mata hitam. Tak pernah kulihat mereka ke sini sebelumnya. Entah kenapa, ada amarah yang meluap-luap dari celah dahanku. Rasa tidak terima akan hal itu sangat membalut di seluruh sanubari.
Dalam pertempuran hati itu, aku sempat termenung memikirkan derita ini. Bisik-bisik hati membuatku hendak memberontak untuk membela surau tak berpenghuni. Entah siapa lagi yang sanggup mendengarkan keluh kesahku, aku sendiri. Ruang surau sudah mulai diselimuti debu. Kaca telah memudar oleh bintik-bintik hujan yang mengering. Berandanya telah penuh dengan helaian daun tuaku. Tak ada lagi yang mau peduli atas surau usang ini.
Esok telah tiba, tak ada juga sosok yang kunanti-nantikan. Nampaknya tubuhku akan segera dilumpuhkan dari bumi. Manusia angkuh itu datang lagi dengan menggenggam secarik parang yang siap menebas mangsanya, yaitu aku. Ia mendekatiku membuat aku berkeringat dan menggigil. Aku berusaha untuk menghindar dari cengkraman tangannya. Tiba-tiba angin membantuku, dahanku diterpanya hingga mengena kepala si manusia tadi. Aku tertawa kecil dalam ketakutan ini. Tampaknya pemuda itu kesakitan dan rambut ikalnya dinodai oleh darah. Ia segera meninggalkanku dalam kesendirian.
***
Nampaknya harapan itu masih tidak ada. Hingga kini dan kini memang tidak ada. Surau itu tidak lagi dikenang oleh siapa saja kecuali aku yang tiap hembusan nafas meneduhkan dirinya. Beranda surau penuh sesak akan carut-marut daun keringku yang tiap harinya hinggap di sana. Mereka berkeluh kesah melihat tidak ada lagi warna Islam yang hadir pada surau dan negeri itu.***
Sadry SS,
Komunitas Metafora
Sungai Pakning

0 Response to "Metafora Batang Akasia"

Post a Comment

Terima Kasih sudah mampir