Angin dingin masih menyergap pakaianku ketika kuputuskan untuk berjalan kaki menuju Stasiun Lempuyangan. Sepatu hak tinggi lama kelamaan membuat kaki ini semakin nyeri, sementara handphone tak henti-hentinya bergetar menunjukkan tumpukan pesan singkat masuk. Aku tak begitu peduli, termasuk ketika beberapa bapak penarik beca yang iseng-iseng menyapaku, aku hanya mengangguk. Kadang tak kuanggap sama sekali. Tapi sayup-sayup kudengar pembicaraan mereka setelah aku melintas, pasti tentang aku.
Tak ada yang berubah dari hawa pembuka hari di Stasiun Lempuyangan. Aku memilih lewat jalan persimpangan pintu kereta untuk menghindari peron. Ya, karena aku tak membeli karcis, dan tak hendak mengantar atau menjemput siapapun. Aku hanya membawa tas kecil berisi handphone, dompet, dan sebuah buku Cala Ibi karangan Nukila Amal.
Perjalanan ini membutuhkan waktu hampir setengah jam, dan aku merasa kedua jempol kaki sudah lecet. Aku sampai di dalam stasiun ketika matahari mulai membanggakan sinarnya yang putih dan silau. Beberapa bangku stasiun di bagian timur menjadi cerah karena panasnya. Tak ada kereta yang parkir, tapi penumpang sudah berjejal, sepertinya mereka akan bepergian jarak dekat—sebagaimana setiap pagi di Lempuyangan—dengan kereta Prambanan Ekspress jurusan Jogja-Solo. Suasana pekat ditambah asap rokok membuatku berpindah beberapa puluh meter ke seberang stasiun. Setelah melangkahi pasangan-pasangan rel yang mulai memuai, aku berlindung di belakang gerbong-gerbong bekas yang roda-rodanya sudah menyatu dengan juluran besi panjang dan bantalannya, bahkan sebagiannya seperti termakan rerumputan. Gerbong yang sudah membisu entah sejak kapan. Tapi kehadiran mereka menambah lengkapnya perasaanku pagi ini.
Di sana, di ujung barat setelah belokan jalan raya tempat merayap bis kota yang kadang kesal karena terhalang pintu kereta, akan muncul laki-laki itu, laki-laki yang membuat tidurku seperti halusinasi tak berguna. Laki-laki yang membuat pagi ini mungkin tak terbayarkan dengan jadwal-jadwal kereta yang terlambat setelah fajar. Kami berjanji untuk bertemu di stasiun ini.
Aku melihat arloji, masih setengah tujuh. Itu artinya aku harus menunggu setengah jam lagi sesuai perjanjian. Tak apa, kedatangan laki-laki itu bisa membayar segalanya. Segala kerinduan yang entah terlukis oleh apa, entah terbentuk sebagai apa. Tapi dadaku seperti penuh sesak menunggu hari ini, walaupun jujur, laki-laki ini tidak pernah kutemui secara langsung sebelumnya.
Kami berkenalan di sebuah komunitas sastra dunia maya. Di sana aku biasa mengirimkan tulisan-tulisanku yang ala kadarnya, dan dia juga. Di antara gelapnya dan pekatnya kebohongan di dunia internet, aku sudah bisa belajar mempercayainya. Dia satu kota denganku, Jogja. Hanya saja kami berbeda enam tahun. Aku masih duduk di bangku SMA sekarang, sedangkan dia sudah mahasiswa tingkat ahkir yang sedang mengejar-ngejar toga wisuda, itu katanya.
Siapa yang peduli dengan identitas? Aku hanya ingin bertemu dengannya. Aku duduk di sela-sela gerbong kereta barang, sambil memotret keadaan sekitar: burung yang beterbangan, kendaraan yang terhenti di perlintasan kereta, dan mungkin akan segera memotret senyum laki-laki itu. Rok panjang merah muda yang kugunakan sedikit kotor karena tanah, kukibaskan saja. Aku kadang mengambil cermin kecil di dompet dan tisu untuk membersihkan wajahku. Ya, aku ingin berhias sempurna di pertemuan pertama kali ini dengan tampil seanggun dan secantik mungkin. Itulah mengapa aku tetap memilih sepatu hak tinggi walaupun benar-benar tersiksa, bahkan aku harus siap menerima jika dia tertawa melihatku melangkah dengan tertatih menahan rasa sakit. Ini semua demi dia, laki-laki yang telah membawa kunci di ruang hati ini. Dia mengubahku seperti burung yang diarahkan pada pasangannya.
Karena dia, aku tidak lagi berteriak-teriak tentang feminisme atau emansipasi sebagaimana tulisan-tulisanku di komunitas sastra itu. Aku tak ingin lagi berdebat tentang persamaan hak wanita, tentang pemikiran bahwa wanita harus bebas dari jajahan lawan jenis. Melalui percakapan-percakapan dengannya secara tak langsung, dan sesekali mendengar suaranya lewat telepon, dia telah mengubahku menjadi wanita yang ingin membahagiakannya. Aku tidak ingin bekerja. Bahkan aku tidak ingin kuliah. Aku ingin menjadi ibu rumah tangga yang menjaga kelangsungan hidup keluarga. Menunggunya pulang kerja, menyiapkan segelas teh di pagi hari, dan mengasuh anak-anak kami. Bukan seperti wanita yang lebih mementingkan karirnya, meninggalkan buah hati pada para pembantu, tidak bertemu dengan sang suami kecuali hanya di tempat tidur yang beku. Bahkan ada yang menunda kehamilan karena takut hilang pekerjaannya, takut fisiknya berubah dan tidak lagi disukai di lapangan pekerjaan di masa ini yang banyak mengumbar keindahan wanita. Mereka melupakan kodratnya. Dan aku menganggap emansipasi justru merendahkan wanita itu sendiri. Menjadi bahan tertawaan laki-laki.
Ah, waktu semakin dekat. Di mana dia. Aku tak berani membuka handphone, biarlah aku mendetakkan jantungku dengan lebih kencang untuk melihat kehadirannya sebagai kejutan.
Pagi ini aku tak berharap dia datang dengan seikat bunga konyol, atau petikan puisi picisan sebagaimana yang pernah dilakukannya di komunitas sastra. Aku juga tak berharap dia membawa cinta, entah cinta suci atau cinta praktis sekali pakai atau cinta cinta lainnya. Aku hanya ingin hidup bersamanya. Percakapan demi percakapan telah membuatku yakin bahwa aku akan menghabiskan hidupku dengannya. Aku ingin menikah sesegera mungkin setelah lulus SMA. Aku ingin menghabiskan masa lajang dengan lebih cepat.
Dan kebersamaan itu tak selalu dengan cinta, aku tak berharap dia menyatakan cinta dan aku tak akan menanyakannya. Sekali lagi, aku hanya ingin bersama, walaupun tanpa cinta. Berapa banyak orang-orang yang bersama selama berpuluh-puluh tahun tapi tak ada cinta di antara mereka. Dan berapa banyak orang yang cinta tapi tak pernah bersama. Berapa banyak kebersamaan karena cinta justru menjadi bumerang hidup, ketika cinta itu pudar, dan kebosanan demi kebosanan muncul dari setiap titik. Seolah pasangan kita adalah yang terburuk di dunia, padahal di masa muda selalu ada seikat kalimat asmara. Tapi jika dia datang dengan cinta, tentu aku bergembira. Dan tolong jangan tanya apakah aku sendiri mencintainya.
Deru mesin mobil mulai bertambah ramai. Hari minggu di sekitar stasiun akan selalu sibuk. Dan aku pun sibuk melihat arloji dari menit ke menit, hand phone bergetar, aku biarkan. Aku yakin itu dari dia. Pasti dia tengah memberi kabar baru sampai mana. Atau mungkin terjebak kemacetan di jalan mana. Ya, semoga saja dia tidak membatalkannya. Aku rela menunggu lebih lama lagi dalam keadaan yang tidak pasti. Akhirnya. Muncullah suara itu. Ya. Suara itu. Aku mengenalnya. Suara yang biasanya kudengar lewat telepon, kini memantul di gendang telingaku begitu dekat. Ah, dia sudah datang, aku berbalik menatap, ini pertama kali aku melihatnya. Benar. Dia tak membawa apa-apa, hanya senyum yang mengambang. Dan aku gembira, aku melihat masa depanku terbiaskan di bola matanya. Aku tak banyak bicara ketika dia mulai membuka percakapan. Suaranya hanya sedikit pudar ketika kereta melintas dengan gagahnya, meninggalkan kebisingan yang khas. Selebihnya aku hanya menunduk, tak berani menatap wajah itu, wajah yang sudah kubayangkan suatu saat akan kubangunkan setiap pagi dengan belaian yang paling lembut.
Dan aku yakin keinginanku akan terwujud. Dari tatapannya. Dari gerak bibirnya, dan tubuhnya. Percakapan itu hampir sampai pada titik jenuh, aku tak benar-benar menyimak apa yang diucapkannya. Dadaku masih berdegup seperti getaran tanah yang dilewati rangkai gerbong-gerbong itu. Tiba-tiba dia mendekatkan bibirnya di bibirku. Dekat sekali. Aku merasakan nafasnya yang sendu dan menenangkan. Kami berciuman! Aku merasakan kehangatan itu. Tubuhku kini juga erat dipeluknya. Aku benar-benar berciuman dengannya. Laki-laki yang baru beberapa menit lalu aku temui. Tapi aku tidak menolak. Aku tidak ingin menolak, karena aku yakin, aku benar-benar yakin, namanya telah kulingkarkan di jari manisku.
Sekali lagi. Di belakang gerbong tua yang membisu itu. Aku benar-benar yakin.
***
Seluruh wartawan di ruangan pengap ini terdiam, wanita tersebut menghela nafas setelah selesai bercerita tentang pertemuannya dengan sang suami untuk pertama kali. Tak ada satupun dari mereka yang sempat mencatat ceritanya. Semuanya tertegun. Wajah wanita itu kini lebam, pelipisnya memar, di bawah matanya merah kehitaman, dan tangan serta bagian bawah lehernya yang sedikit terbuka itu penuh dengan luka akibat sayatan benda tajam. ***
Sungging Raga,
Alumnus Jurusan Matematika
FMIPA UGM
Tak ada yang berubah dari hawa pembuka hari di Stasiun Lempuyangan. Aku memilih lewat jalan persimpangan pintu kereta untuk menghindari peron. Ya, karena aku tak membeli karcis, dan tak hendak mengantar atau menjemput siapapun. Aku hanya membawa tas kecil berisi handphone, dompet, dan sebuah buku Cala Ibi karangan Nukila Amal.
Perjalanan ini membutuhkan waktu hampir setengah jam, dan aku merasa kedua jempol kaki sudah lecet. Aku sampai di dalam stasiun ketika matahari mulai membanggakan sinarnya yang putih dan silau. Beberapa bangku stasiun di bagian timur menjadi cerah karena panasnya. Tak ada kereta yang parkir, tapi penumpang sudah berjejal, sepertinya mereka akan bepergian jarak dekat—sebagaimana setiap pagi di Lempuyangan—dengan kereta Prambanan Ekspress jurusan Jogja-Solo. Suasana pekat ditambah asap rokok membuatku berpindah beberapa puluh meter ke seberang stasiun. Setelah melangkahi pasangan-pasangan rel yang mulai memuai, aku berlindung di belakang gerbong-gerbong bekas yang roda-rodanya sudah menyatu dengan juluran besi panjang dan bantalannya, bahkan sebagiannya seperti termakan rerumputan. Gerbong yang sudah membisu entah sejak kapan. Tapi kehadiran mereka menambah lengkapnya perasaanku pagi ini.
Di sana, di ujung barat setelah belokan jalan raya tempat merayap bis kota yang kadang kesal karena terhalang pintu kereta, akan muncul laki-laki itu, laki-laki yang membuat tidurku seperti halusinasi tak berguna. Laki-laki yang membuat pagi ini mungkin tak terbayarkan dengan jadwal-jadwal kereta yang terlambat setelah fajar. Kami berjanji untuk bertemu di stasiun ini.
Aku melihat arloji, masih setengah tujuh. Itu artinya aku harus menunggu setengah jam lagi sesuai perjanjian. Tak apa, kedatangan laki-laki itu bisa membayar segalanya. Segala kerinduan yang entah terlukis oleh apa, entah terbentuk sebagai apa. Tapi dadaku seperti penuh sesak menunggu hari ini, walaupun jujur, laki-laki ini tidak pernah kutemui secara langsung sebelumnya.
Kami berkenalan di sebuah komunitas sastra dunia maya. Di sana aku biasa mengirimkan tulisan-tulisanku yang ala kadarnya, dan dia juga. Di antara gelapnya dan pekatnya kebohongan di dunia internet, aku sudah bisa belajar mempercayainya. Dia satu kota denganku, Jogja. Hanya saja kami berbeda enam tahun. Aku masih duduk di bangku SMA sekarang, sedangkan dia sudah mahasiswa tingkat ahkir yang sedang mengejar-ngejar toga wisuda, itu katanya.
Siapa yang peduli dengan identitas? Aku hanya ingin bertemu dengannya. Aku duduk di sela-sela gerbong kereta barang, sambil memotret keadaan sekitar: burung yang beterbangan, kendaraan yang terhenti di perlintasan kereta, dan mungkin akan segera memotret senyum laki-laki itu. Rok panjang merah muda yang kugunakan sedikit kotor karena tanah, kukibaskan saja. Aku kadang mengambil cermin kecil di dompet dan tisu untuk membersihkan wajahku. Ya, aku ingin berhias sempurna di pertemuan pertama kali ini dengan tampil seanggun dan secantik mungkin. Itulah mengapa aku tetap memilih sepatu hak tinggi walaupun benar-benar tersiksa, bahkan aku harus siap menerima jika dia tertawa melihatku melangkah dengan tertatih menahan rasa sakit. Ini semua demi dia, laki-laki yang telah membawa kunci di ruang hati ini. Dia mengubahku seperti burung yang diarahkan pada pasangannya.
Karena dia, aku tidak lagi berteriak-teriak tentang feminisme atau emansipasi sebagaimana tulisan-tulisanku di komunitas sastra itu. Aku tak ingin lagi berdebat tentang persamaan hak wanita, tentang pemikiran bahwa wanita harus bebas dari jajahan lawan jenis. Melalui percakapan-percakapan dengannya secara tak langsung, dan sesekali mendengar suaranya lewat telepon, dia telah mengubahku menjadi wanita yang ingin membahagiakannya. Aku tidak ingin bekerja. Bahkan aku tidak ingin kuliah. Aku ingin menjadi ibu rumah tangga yang menjaga kelangsungan hidup keluarga. Menunggunya pulang kerja, menyiapkan segelas teh di pagi hari, dan mengasuh anak-anak kami. Bukan seperti wanita yang lebih mementingkan karirnya, meninggalkan buah hati pada para pembantu, tidak bertemu dengan sang suami kecuali hanya di tempat tidur yang beku. Bahkan ada yang menunda kehamilan karena takut hilang pekerjaannya, takut fisiknya berubah dan tidak lagi disukai di lapangan pekerjaan di masa ini yang banyak mengumbar keindahan wanita. Mereka melupakan kodratnya. Dan aku menganggap emansipasi justru merendahkan wanita itu sendiri. Menjadi bahan tertawaan laki-laki.
Ah, waktu semakin dekat. Di mana dia. Aku tak berani membuka handphone, biarlah aku mendetakkan jantungku dengan lebih kencang untuk melihat kehadirannya sebagai kejutan.
Pagi ini aku tak berharap dia datang dengan seikat bunga konyol, atau petikan puisi picisan sebagaimana yang pernah dilakukannya di komunitas sastra. Aku juga tak berharap dia membawa cinta, entah cinta suci atau cinta praktis sekali pakai atau cinta cinta lainnya. Aku hanya ingin hidup bersamanya. Percakapan demi percakapan telah membuatku yakin bahwa aku akan menghabiskan hidupku dengannya. Aku ingin menikah sesegera mungkin setelah lulus SMA. Aku ingin menghabiskan masa lajang dengan lebih cepat.
Dan kebersamaan itu tak selalu dengan cinta, aku tak berharap dia menyatakan cinta dan aku tak akan menanyakannya. Sekali lagi, aku hanya ingin bersama, walaupun tanpa cinta. Berapa banyak orang-orang yang bersama selama berpuluh-puluh tahun tapi tak ada cinta di antara mereka. Dan berapa banyak orang yang cinta tapi tak pernah bersama. Berapa banyak kebersamaan karena cinta justru menjadi bumerang hidup, ketika cinta itu pudar, dan kebosanan demi kebosanan muncul dari setiap titik. Seolah pasangan kita adalah yang terburuk di dunia, padahal di masa muda selalu ada seikat kalimat asmara. Tapi jika dia datang dengan cinta, tentu aku bergembira. Dan tolong jangan tanya apakah aku sendiri mencintainya.
Deru mesin mobil mulai bertambah ramai. Hari minggu di sekitar stasiun akan selalu sibuk. Dan aku pun sibuk melihat arloji dari menit ke menit, hand phone bergetar, aku biarkan. Aku yakin itu dari dia. Pasti dia tengah memberi kabar baru sampai mana. Atau mungkin terjebak kemacetan di jalan mana. Ya, semoga saja dia tidak membatalkannya. Aku rela menunggu lebih lama lagi dalam keadaan yang tidak pasti. Akhirnya. Muncullah suara itu. Ya. Suara itu. Aku mengenalnya. Suara yang biasanya kudengar lewat telepon, kini memantul di gendang telingaku begitu dekat. Ah, dia sudah datang, aku berbalik menatap, ini pertama kali aku melihatnya. Benar. Dia tak membawa apa-apa, hanya senyum yang mengambang. Dan aku gembira, aku melihat masa depanku terbiaskan di bola matanya. Aku tak banyak bicara ketika dia mulai membuka percakapan. Suaranya hanya sedikit pudar ketika kereta melintas dengan gagahnya, meninggalkan kebisingan yang khas. Selebihnya aku hanya menunduk, tak berani menatap wajah itu, wajah yang sudah kubayangkan suatu saat akan kubangunkan setiap pagi dengan belaian yang paling lembut.
Dan aku yakin keinginanku akan terwujud. Dari tatapannya. Dari gerak bibirnya, dan tubuhnya. Percakapan itu hampir sampai pada titik jenuh, aku tak benar-benar menyimak apa yang diucapkannya. Dadaku masih berdegup seperti getaran tanah yang dilewati rangkai gerbong-gerbong itu. Tiba-tiba dia mendekatkan bibirnya di bibirku. Dekat sekali. Aku merasakan nafasnya yang sendu dan menenangkan. Kami berciuman! Aku merasakan kehangatan itu. Tubuhku kini juga erat dipeluknya. Aku benar-benar berciuman dengannya. Laki-laki yang baru beberapa menit lalu aku temui. Tapi aku tidak menolak. Aku tidak ingin menolak, karena aku yakin, aku benar-benar yakin, namanya telah kulingkarkan di jari manisku.
Sekali lagi. Di belakang gerbong tua yang membisu itu. Aku benar-benar yakin.
***
Seluruh wartawan di ruangan pengap ini terdiam, wanita tersebut menghela nafas setelah selesai bercerita tentang pertemuannya dengan sang suami untuk pertama kali. Tak ada satupun dari mereka yang sempat mencatat ceritanya. Semuanya tertegun. Wajah wanita itu kini lebam, pelipisnya memar, di bawah matanya merah kehitaman, dan tangan serta bagian bawah lehernya yang sedikit terbuka itu penuh dengan luka akibat sayatan benda tajam. ***
Sungging Raga,
Alumnus Jurusan Matematika
FMIPA UGM
0 Response to "Pertemuan di Lempuyangan"
Post a Comment
Terima Kasih sudah mampir